Jumat, 06 November 2009

kawan

Sayyidina Ali ra, suatu waktu ditanya tentang berapa jumlah kawannya. Ia menjawab seperti ini, “Aku tidak tahu karena sekarang ini dunia sedang mendatangiku dan semua kawan-kawanku mendatangiku. Aku dapat mengetahui kelak bila dunia membelakangi aku. “Sebaik-baik kawan,” kata Imam ‘Ali, “ialah mereka yang mendatangimu di saat dunia meninggalkanmu.”

Apa kata khalifah kita yang keempat itu baik sekali jika direnungkan. Suatu waktu, seorang mantan pejabat menceritakan. “waktu masih jadi pejabat,” kata beliau, “orang-orang biasa membawakan parcel ke rumah saya.” Tapi, ketika jabatannya sudah habis, tak ada lagi parcel yang warna dan rasanya kayak nano nano, dan karangan bunga yang hinggap di pekarangan rumahnya.

Saat berjaya, seseorang menjadi magnet bagi yang lainnya. Yang namanya magnet, dia tentu akan menarik siapa-siapa yang dekatnya agar bersama dengannya. Namun, ketika daya magnet seseorang seperti jabatan—apalagi jabatan ‘basah’—sudah tidak ada, maka di situlah, kita akan mengetahui, siapa yang benar-benar menjadi teman kita.

Saat masih punya duit banyak, mungkin benar kata sebuah pepatah, “ada uang abang disayang.” Tapi, kalau tidak ada uang bagaimana? Maka, perkataan “abang ditendang” mengandung arti bahwa ada orang tertentu di dekat kita yang berpatokan pada seberapa tebal kantong temannya.

Di sebuah kesempatan, di televisi pernah ditampilkan kepada kita tentang seorang perempuan yang wajahnya rusak. Rusaknya karena ada cairan tertentu yang kena pada wajahnya, dan itu membuat wajahnya harus dioperasi kembali untuk bisa normal. Foto perempuan tersebut, bolehlah kita sebut dengan kata “cantik.”

Di lain tempat, ada juga orang yang terkena lumpuh. Saat lumpuh itu, tubuhnya hanya bisa berbaring di atas kasur, atau kalaupun kuat, hanya duduk-duduk saja di atas kursi roda. Pemandangan ini tentu membuat kita menjadi iba dan berempati pada mereka-mereka, namun seberapa jauh dan lama iba dan empati itu, sangat bergantung pada kedalaman hati dan kesyukuran kita.

Mereka yang sejati, biasanya akan menerima kawan, atau orang-orang terdekatnya dengan apapun kondisi yang ada. Waktu yang lalu ada lagi seorang lelaki yang kena lumpuh, dia tidak bisa jalan normal. Kalaupun berjalan, ia hanya bisa menggunakan punggungnya, dan kakinya ada yang terangkat ke atas dan ke bawah. Dari kecil hingga kurang lebih 30 tahun, sang ibu menjaga anak tersebut dengan sabarnya.

Dalam kondisi serba kekurangan itulah kita akan melihat mana teman kita yang sejati, dan mana yang bukan. Saat kita berada, wajarlah kalau ada yang mendekat—mungkin ingin berbagi, mencari hikmah, ataukah ingin mendapatkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Dalam kondisi “sehat” itu, adalah wajar, kalau jumlah kawan kita banyak, namun seperti kata khalifah ‘Ali di atas, kita akan bisa tahu kelak berapa jumlah kawan kita setelah dunia “membelakangi” kita, alias ketika kita berada tidak sekuat, sesehat, sekaya, secantik, setampan, seberada sebelumnya. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar