Jumat, 06 November 2009

seinci tikus

SEBUAH petuah dari Cina jaman klasik, berkata, “Shu mu cun guang.” Jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, maka menjadi, “A mouse’s vision is an inch long.” Kira-kira, dalam bahasa kitanya adalah, “Jarak pandang seekor tikus hanya satu inci.”

Suatu waktu, ada yang berkata, “gue mau cerai!!!” Entahlah, apa pasal yang melatarinya, tapi mudahnya kita pahami sebagai sebuah pandangan bahwa pasangan yang dia dapatkan—menurut seinci pandangannya yang belum juga cukup satu tahun bersama—tidak cocok dengan dirinya.

Selesai sampai di situ? Belum. Beberapa waktu kemudian, perkataan tersebut menjadi seperti debu saja yang beterbangan. Gerutuan yang sebelumnya begitu berat dalam hatinya menjadi lunglai dan menjebaknya pada sebuah kondisi dimana dia, mau tak mau, ridha tak ridha, harus menerima pasangannya itu. Dan, secara pintas kita melihat, “mereka berbahagia.”

Hidup ini memang sudah susah, olehnya, jangan kita buat susah! Terkadang, sesuatu yang rumit, malah bertambah tingkat kerumitannya, adalah karena cara pandang kita yang mungkin, seperti tikus. Hanya satu inci yang dilihatnya! Cobalah kita lihat penggaris, satu inci itu semana panjangnya. Pendek sekali bukan?

Orang yang cara pandangnya “satu inci” itu, bisa saja melanda kita. Ada kalanya pada masalah tertentu, cara pandang kita ber-kilo ke depan, namun pada persepektif lain, kita menjadi sangat ketinggalan dengan yang seharusnya.

Beberapa waktu yang lalu, si Geert Wilders buat film, “fitna” judulnya. Menurut dia, nabi Muhammad adalah penjahat, istrinya banyak, “haus darah” dan seterusnya. Publik dunia menjadi geram atas film dokumenter singkat itu. Gelombang protes terjadi dimana-mana. Ternyata, salah satu alasan kenapa Geert buat film itu, adalah karena rasa jengkelnya atas perkembangan Islam yang begitu pesat di negerinya, Belanda.

Melihat aksi lelaki itu, kita jadi iba padanya. Bagaimana mungkin, seseorang yang mendapatkan jabatan penting, sebagai anggota parlemen, namun kemudian pandangannya terhadap Islam, “hanya seinci tikus.” Sementara itu, mereka yang mengkaji Islam secara jernih, justru mendapatkan hidayah dan kemudian mengikrarkan dirinya sebagai muslim.

Gelombang “seinci tikus” ala Geert itu bahkan tumbuh juga pada situs-situs tertentu yang tujuannya untuk menggembosi ajaran Islam. Dalam sebuah situs yang dirilis di wordpress, kita melihat adanya kampanye negatif dari oknum tertentu yang melihat Islam sebagai agama yang anti pada kemanusiaan, kekerasan, dan seterusnya. Bahkan, seperti juga yang pernah dimainkan oleh Jyllands Posten, ada kartun-kartun baru yang dibuat tentang Islam dan nabi Muhammad, dengan tujuan untuk menghancurkan ajaran Islam.

Saat menulis ini, disamping kiriku adalah sebuah buku bagus, judulnya “100 A Ranking of the Most Influential Persons in History.” Buku ini diterjemahkan oleh Penerbit Hikmah (2009) dengan judul “100 Orang Paling Berpengaruh di Dunia Sepanjang Sejarah.” Penulisnya bernama Michael H. Hart.

Apa yang menarik dari buku Hart ini? Di halaman 1, sebagai tokoh ranking pertama yang berpengaruh di dunia, adalah “Muhammad Saw (570-632).” Kenapa Hart yang notebene tidak Islam meletakkan sang nabi di peringkat pertama? Pada lead tulisannya ia menulis:

“Saya memilih Muhammad Saw sebagai tokoh teratas dalam daftar paling berpengaruh di dunia mungkin mengejutkan sejumlah pembaca dan dipertanyakan oleh yang lain.” Ada lanjutannya yang menarik—baiknya ditulis dengan huruf besar, “namun, DIALAH ORANG DALAM SEJARAH YANG SANGAT BERHASIL, BAIK DALAM HAL KEAGAMAAN MAUPUN SEKULER.”

Pada point agama, bermakna visi ke-akhiratan. Dari perspektif ini, Rasul menjadi orang yang sukses akhiratnya, karena memang ia telah dijanjikan bertempat tinggal di surga bersama umatnya. Dari segi duniawi (atau “sekuler”), beliau juga menjadi lelaki yang motivatif dan bijaksana kepada kawan dan lawan. Saat Islam tengah berjaya dengan menaklukkan Makkah, Rasul tidak lantas membalas dendam kepada musuh-musuhnya yang dulunya pernah membenci dan merintangi jalan dakwahnya. Yang ada, ketika ia berada di puncak kesuksesan, yaitu dengan memberikan maaf kepada mereka.

Dari buku Hart ini saja kita akan melihat tiap manusia itu punya pandangan yang berbeda. Ada yang jarak pandangnya hanya “seinci tikus”—segitu-segitu saja. Namun, ada juga yang memandang dengan perspektif yang lebih jernih, dan jauh ke depan. Lantas, kira-kira, kita semua berada pada jarak pandang yang mana? ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar